Di awal maret 2014, perdana
mentri Turki, Recep Tayyip Erdogan, berkunjung ke kantor Google. Dia mencoba
google car, mengenakan googleGlass , dan berjanji mendorong indistri digital
dinegara yang ia pimpin sejak tahun 2013.
Karena itu menjadi ironis ketika kini Erdogan menjadi pemimpin yang
aktif membelenggu kebebasan internet. Hal ini bisa dilihat dari aturan baru di Turki
membolehkan pemerintah menutup sebuah situs tanpa keputusan pengadilan. Aturan itu
juga memungkinkan pihak yang berwenang mengumpulkan informasi mengenai warganya
di dunia maya. Tidak cuma itu, Erdogan juga sempat memblokir Twitter dan
Youtube karena gerah dengan kicauan yang menyebut dirinya terlibat korupsi.
Kasus di Turki menjadi contoh
semakin kuatnya keinginan para penguasa Negara untuk meregulasi dunia internet.
Di Tiongkok, akses ke situs popular di dunia seperti Twitter dan Facebook telah
lama diblokir. Di Rusia, pemerintah Putin menerapkan aturan yang kian keras
terhadap situs berita. Indonesia pun sempat hebih ketika situs Vimeo diblokir
atas nama pornografi.
Tidak heran jika muncul kekhawatiran
tentang masa depan internet. Secara alami, internet adalah sarana demokratisasi
yang mensejajarkan setiap orang dalam tngkat yang sama. Setiap orang dengan
mudah menyuarakan pendapatnya, menyumbangkan idenya, dan mendiskusikannya
dengan orang lain. Dari sifat dasar itulah, internet jadi gudang pengetahuan
yang tidak ada habisnya dan terbuka bagi semua orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar